Makna Tradisi Doi Menre dalam Ritual Pernikahan Masyarakat Bugis Bone (Kajian Semiotika)

Fatimah, Fatimah Makna Tradisi Doi Menre dalam Ritual Pernikahan Masyarakat Bugis Bone (Kajian Semiotika). In: PROCEEDING NATIONAL SEMINAR ON CORPUS LINGUISTIC. Corpus Linguistics Application: Critical Explorations in Linguistics, Language Teaching, Translation, and Literature Studies. UNY Press, Yogyakarta, pp. 204-211. ISBN 9786026338204

[img] Text
MaknaDoiMenre_Prosiding 2017UNY_Fatimah.pdf

Download (1MB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan utuk menjelaskan fenomena tanda dalam proses mappenre doi, dan menjelaskan makna doi menre sebagai tanda budaya yang terdapat dalam proses mamppenre doi pada ritual pernikahan masyarakat Bugis Bone. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatif di lapangan, kemudian data dianalisis secara kualitatif dengan pisau analisis semiotika Charles Sanders Pierce dan Roland Barthes. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa doi menre (uang yang diserahkan kepada keluarga calon mempelai perempuan, menjadi ukuran dari strata sosial calon mempelai perempuan: orang berdarah biru, orang kaya dan orang berpendidikan tinggi). Makna doi menre merupakan simbol dalam komunikasi nonverbal telah mengalami pergeseran makna yang terjadi pada zaman dahulu, doi menre sebagai doi mette atau pengelli dara telah berubah mejadi gengsi atau status suatu keluarga. Kemudian lipa sabbe/sarung sutera dan waju tokko bermakna sebagai harga diri, karena sarung dan baju bermkna busana yang berfungsi untuk menutup aurat. Dengan diserahkannya pemberian kepada pihak perempuan, mengisyaratkan pihak dan mempelai saling menjaga kehormatan dan saling memelihara. Cincin emas (ciccing ulaweng) sebagai pertanda ikatan kedua belah pihak, yaitu sang erempuan telah diikat, dan ikatan itu sebagai petanda perempuan tidak diperbolehkan menerima lamaran laki-laki lain. Rombongan calon mempelai laki-laki membawa rempah-rempah yang berjumlah tujuh, angka tujuh bagi masyarakat Bugis Bone mempunyai makna konotasi seperti yang terkandung dalam nama-nama barang bawaan, yaitu mattuju yang berarti selalu dalam keadaan yang menguntungkan. Ini berarti bahwa bilangan 7 merupakan sennung-sennungeng sebagai harapan dan doa agar kedua pihak selalu mendapat keberuntungan dalam kehidupannya. Selain itu, angka tujuh mempunyai makna simbolis sebagai penuntut hidup, bahkan sudah menjadi mitos di kalangan masyarakat bugis Bone. Hal ini sejalan dengan teori semiotika menurut Roland Barthes.

Item Type: Book Section
Subjects: 2X6 Masyarakat Islam > 2X6.7 Kebudayaan Islam, Kesenian Islam, Seni Islam
Depositing User: Fatimah Fatimah
Date Deposited: 30 Sep 2020 14:14
Last Modified: 09 Jun 2021 04:13
URI: http://repositori.iain-bone.ac.id/id/eprint/62

Actions (login required)

View Item View Item